Qiyas

Al Qiyass

A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’ dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya.

B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya).

2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al musyabbah ( yang diserupakan ).

3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).

4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad beberapa satuan hukum yang bukan asl.

C. Kehujahhan Qiyas
Jumhur ulama’ menerima qiyas menjadi hujjah dalam keadaan;
a. Apabila hukum asl dinas-kan illahnya.
b. Apabila qiyas itu merupakan salah satu dari pada Qiyas-qiyas yang dilakukan Rasulullah.
Dalam dua macam ini para ulama sepakat menetapkan bahwa keduanya menjadi hujjah syari’ah, dan qiyas selain kedua tersebut para ulama bebeda pendapat ada yang menerima dan dan adapula yan menolak sebagai hujjah syari’iyyah, diantara golongan yang menolak qiyas adalah An Nazzam dari golongan Zahiriyah dan segolongan ulama Syi’ah.

Read more: Qiyas – IslamWiki http://islamwiki.blogspot.com/2009/01/qiyas.html#ixzz1nihb52Zo
Under Creative Commons License: Attribution

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.[5]
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[6]

Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.[7]

Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.

Qiyas adalah upaya unutk menganalogikan/membandingkan sesuatu dengan obyek yg telah ditentukan dalam Quran dan hadits dan kesepakatan Sahabat2. Misal, penentuan jumlah nasab zakat beras, maka diqiyaskan dengan jumlah nasab pada gandum.

Qiyas berasal dari kata:قاس – يقوس – قوسا, berarti: mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang lain. Qiyas dapat juga diartikan dengan analogi. Sebuah perinsip untuk menerapkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, ketetapan sunnah Nabi pada permasalahan yang tidak jelas ketetapannya di dalam kedua sumber hukum Islam.

Qiyas menurut bahasa dapat pula berarti :

  1. قدر artinya mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Contoh: قست الثوب بإذراع “Saya mengukur pakaian itu dengan hasta”.
  2. المساوة (Persamaan). Contoh: زيد يقاس علي (Zaid sama dengan Ali).
  3. الإعتبار (mengetahui dengan anggapan). Contoh: Saya mengqiyas ini dengan itu karena saya menganggapnya sama.

Ada beberapa defenisi tentang qiyas yang telah dikemukakan oleh para ulama Ushul Fikih, kadang berbeda rumusannya namun maksudnya tetap sama.

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :

إلحاق أمر غير منصوص علي حكمه الشرعي بأمر منصوص علي حكمه لإشتراكهما في علة الحكم.

“menyatukan sesuatu yang tidak desebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum antara keduanya”.

Dari defenisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul fikih dapat diambil gambaran bahwasanya qiyas sebagai:

Metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan sesuatu hukum, Illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Obyek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki nash.

Hujjah Qiyas

Mazhab pertama, Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hal yang boleh terjadi secara akal sehat dan mengamalkannya adalah wajib, dengan hujah bahwa qiyas bukan hal yang mustahil ada, semua yang tidak mustahil ada tentu boleh. Dengan demikian qiyas adalah boleh terjadi.

Mazhab kedua, Mu’tazilah. Qiyas adalah hal yang wajib ada dan mengamalkannya pun wajib dengan hujah bahwa teks agama belum keseluruhannya mencakup permasalahan yang baru, sementara permasalahan itu perlu ada penyelesaiannya secara sah menurut hukum agama, jika permasalahan itu dibiarkan, maka agama Islam tidak sanggup mengikuti perkembangan zaman yang canggih sehingga qiyas wajib ada.

Mazhab yang ketiga, Daud al-Isfahani, Nahrawani, dan sebagainya. Berpendapat bahwa qiyas adalah wajib jika hukum ashal itu memiliki teks yang jelas atau hukum permasalahan yang baru itu lebih utama dari ashalnya, dengan hujah bahwa illat dalam teks tentu punya faedah, dan faedah itu dapat mempersamakan antara ashal dan far’un.

Mazhab keempat, Syi’ah. Qiyas adalah hal yang mustahil terjadi dengan hujah bahwa syariat sudah memperjelas hal yang serupa dan diberikan keistimewaan yang ada padanya. Adapun dalil naqli yang mereka perpedomani adalah surah al-Hujurat ayat 1, al-Isra’ ayat 36, Yunus ayat 36.

Rukun qiyas:

1.   Ashal, adalah merupakan obyek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat Alquran, Hadis Rasulullah saw, atau Ijma’. Adapun syarat-syaratnya yaitu:

  • Bukan hasil hukum melalui qiyas. Contohnya yang salah, jambu diqiyaskan dengan apel dalam pengharaman riba, illatnya karena sama-sama dimakan, pendapat apel qiyasan dari kurma.
  • Nash itu tidak dikhususkan kepada obyek tertentu. Contoh Rasul dibolehkan kawin lebih dari empat.
  • Tidak ada nash yang menjelaskan far’un.
  • Hukum ashal terdahulu dari hukum far’un, contoh yang salah wudhu diqiyaskan dengan tayammum karena thahara pada hal wudhu lebih dahulu dari pada Tayammum.

2.    Far’u adalah obyek akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Syarat-syaratnya:

  • Ada persamaan ‘illat antara ushul dan far’u, contoh anggur karena illat yang ada padanya sama dengan illat khamar yaitu memabukkan.
  • Hukum ashal itu tetap ada (tidak mansukh).
  • Hukum far’u datang setelah hukum ashal.
  • Far’u tersebut atau ijma’ yang meneguhkan hukumnya.

3.    Illat, adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum. Syaratnya yaitu :

  • Illat tersebut harus jelas dan dirasakan dengan panca indra seperti kadar bilangan yang lebih dalam harta yang mengandung riba.
  • Illat itu dapat teraplikasikan dalam far’un contoh membunuh orang yang mewariskan sama jika membunuh orang yang memberi wasiat.
  • Dapat mewujudkan hukum demi mencapai kemaslahatan dan menjauhi mudharat. Contoh mabuk dapat dijadikan standar untuk mengharamkan minuman selain khamar.
  • Tidak membatasi Illat itu pada asal-nya saja. Contoh pernikahan Rasul tidak bisa dijadikan illat untuk orang lain.

Jika dilihat dari segi tingkatnya Qiyas dapat dibagi :

  1. Qiyas Aulawi, yaitu tujuan penetapan yang menjadi illat hukum terwujud dalam kasus furu’ lebih kuat dari illat hukum dalam hukum ashal. Contoh: Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah mengharamkan dara orang mukmin dan berprasangka pada kecuali dengan prasangka baik”. Dari hadis ini, maka dapat diketahui, bagaimana hukumnya berprasangka tidak baik kepada orang mukmin. Kemudian apabila hanya hal yang baik-baik saja yang boleh disangkakan terhadap orang mukmin, maka bagaimana hukum memperbincangkan hal-hal yang tidak baik terhadapnya. Tentu saja lebih dilarang lagi.
  2. Qiyas setara, yaitu sifat hukum yang dianggap sebagai illat dalam kasus hukum furu’ sama dengan illat dalam hukum ashal. Seperti mengqiyaskan budak laki-laki terhadap budak perempuan dalam masalah separu hukuman dari hukum orang merdeka. Berdasarkan qiyas, budak-budak yang mengerjakan perbuatan zina diancam dengan separuh hukuman dari hukuman laki-laki merdeka yang beristri.
  3. Qiyas Naqis. Dalam hal ini wujud illat dalam hukum furu’ kurang tegas, sebagaimana dengan hukum ashal, seperti illat yang memabukkan bagi minum-minuman yang dibuat dari anggur, alasannya harus memabukkan tidak sama kuat dengan alasan memabukkan pada khamar. Akan tetapi bukan berarti menolak teori illat hukum. Sebab untuk memahami nash hukum secara tepat harus mengetahui illat hukumnya pula, untuk itu illat harus dibuktikan secara nyata.

Wilayah qiyas   

1.  Masalah Hudud dan Kafarat.

Contoh: Hukuman yang melakukan liwath (homoseksual), hukuman tersebut adalah qiyas dari hukuman yang melakukan perzinaan oleh karena mengadakan hubungan kelamin kepada yang haram digauli.

2. Masalah asbab, syarut dan mawanie. 

Contohnya: niat sebagai syarat dari tayammum qiyasan dari niat wudhu oleh karena keduanya thahara dalam menentukan sahnya shalat.